Judul
: Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Halaman : 512
“Nak, perasaan itu
tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu
sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia
bukan rumus matematika. Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik
hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit,
kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama
perasaan itu"
-- Pak Tua (halaman 132)
Novel
ini menceritakan kisah cinta yang sama sekali tidak biasa antara Borno dan Mei,
seorang pengemudi sepit di sungai Kapuas dan seorang guru keturunan Tionghoa.
Borno yang memiliki hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas ditakdirkan untuk
bertemu Mei walau terkadang untuk pertemuan – pertemuan selanjutnya itu
direncanakan oleh Borno sendiri (atau Mei?). Pertemuan mereka berawal dari
sebuah angpau merah yang Borno kira adalah sebuah surat yang tak sengaja
ditinggalkan oleh sang pemiliknya, Si gadis cantik berbaju kuning. Pertemuan demi pertemuan pun mengalir sepanjang sungai Kapuas yang sayangnya Borno tidak berani untuk sekedar menanyakan nama dan hanya hafal aktivitas sang gadis cantik (tiba didermaga kayu pukul 7.15, menyeberang. Dia selalu berpakaian
rapi, membawa payung, dengan tas dipenuhi buku tersampir dipundak. Aku
menerka-nerka tampaknya pekerjaan gadis ini guru – halaman 97) yang
membuat Andi sahabat karib Borno sendiri kesal. Perjalanan Borno untuk sekedar mengenal gadis tersebut mengalami banyak rintangan hingga
akhirnya nasib baik berpihak kepadanya sehingga mereka menjadi dekat dan perjalanan cerita Borno dan Meipun dimulai, dari belajar
sepit, menikmati Kapuas, mengantarkan makan siang, menikmati kota Surabaya,
menemui pasangan fulan dan fulanah, diusir satpam galak, yang sayangnya tanpa
Borno sadari kedekatan itu membuka kembali lembar lama kenangan yang membekas
di ingatan Borno hingga akhirnya angpau merah jugalah yang akan menyingkap semua
tirai masa lalu sekaligus jawaban dari semua peristiwa yang dialami Borno.
“Seharusnya kita tidak
pernah bertemu Abang” (Mei)
Awalnya
saya membaca kisah ini di jejaring sosialnya milik Tere Liye dan berakhir
dengan ending yang menggantung dan tidak lama Novel ini nangkring di Gramedia.
Saya Suka covernya yang sendu menurut saya tapi sangat cantik. Well tak dipungkiri nama Tere Liye adalah salah satu magnet dalam dunia
perbukuan, saya salah satu fansnya dan memiliki semua koleksinya dan tidak
heran tanpa pikir panjang saya membeli novel ini dan berharap ada ending yang
lain dikisahnya.
Menurut
saya karya Tere Liye yang satu ini berbeda, berbeda karena mengambil setting di
Pontianak, berbeda dalam hal penentuan tokohnya dan berbeda dengan alurnya.
Cerita cinta yang tidak terkesan lebay dan banyak memberikan pesan positifnya
baik melaui Borno, Pak Tua dan tokoh lainnya yang tidak menggurui, sederhana
tapi menghujam jantung dan bikin nyesek, cocok bagi yang suka galau (nunjuk diri sendiri) dan mengobati kegalauan. 5 jempol untuk bang Tere. Typo? Entahlah
saya tidak menemukannya karena saya sangat menikmati ceritanya, tapi saya
kepingin tau masa mudanya pak Tua itu gimana ya? Karena di Novelnya kurang
begitu dijelaskan padahal menurut saya Pak Tua adalah tokoh yang juga berperan
besar untuk Tokoh Utama (borno) dan Mei. Mungkin agak lebih seru diceritakan
darimana semua kebijakan pak Tua dan pasti seru sekali membayangkan masa muda
pak Tua.
Dan
untuk endingnya? Saya bernapas lega untuk ending novel ini setidaknya tidak
membuat pikiran saya ngambang kemana-mana, saya sangat suka dengan keteguhan
Borno dan hatinya yang sangat lapang. Saya suka sekali BoMe Couple ini. Saya
suka sekali bagaimana cara Borno menjelaskan perasaannya yang membuat gadis si
sendu menawan nan misterius –Mei menjadi gadis yang sama riangnya di Pontianak.
“kau tahu, Mei. Dulu
aku pernah bertanya pada Pak Tua, “Kalau untuk Andi, Pak Tua punya kalimat
bijak dan cerita hebat cinta yang cocok baginya, lantas untukku, apakah Pak Tua
juga punya? Pak Tua tersenyum, dan menepuk bahuku, ‘Tentu ada, Borno. Tentu
ada. Tapi aku akan membiarkan kan sendiri yang menemukan kalimat bijak itu, kau
sendiri yang akan menulis cerita hebat itu. Untuk orang-orang seperti kau, yang
jujur atas kehidupan, bekerja keras dan sederhana, maka definisi cinta sejati
akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan.’ Kau tau Mei. Hari
ini aku mengerti kalimat Pak Tua (halaman 507)
Cinta sejati akan memiliki jalannya sendiri
Medan, Juni 2012