Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-1892-9
344 halaman, cetakan ke I, 2015
My Rating : 4/5
Blurb :
Saya sudah lama mendengar nama Ika Natassa, tapi belum sekalipun saya membaca bukunya. Dulu saya hampir membeli buku Ika Natassa tapi ketika saya intip-intip, buku-bukunya mbak Ika ditulis dengan bahasa yang campur aduk antara Indonesia Inggris yang membuat saya menghentikan niat tersebut. Saya hanya merasa tidak nyaman dengan gaya bahasa yang digunakan penulis sampai saya mendengar Critical Eleven. Awalnya saya tidak terlalu peduli dengan promo dan PO yang cukup heboh di linimasa dan ketika iseng-iseng buka goodreads banyak review positif yang saya temui dan akhirnya saya memutuskan untuk mencoba membaca Critical Eleven.
Oke, cukup intronya ^^. Critical Eleven menceritakan tentang kehidupan setelah pernikahan dan menjalani keputusan yang telah mereka ambil, bagaimana menyikapi luka dengan caranya masing-masing yang tanpa sadar dapat membuat luka baru bagi pasangannya. Walau saya sangat menikmati buku ini, ada beberapa hal yang membuat saya tidak setuju dengan keputusan Anya. Sebagai seorang istri yang baik apalagi setelah tahun-tahun pernikahan indah (walaupun LDM) yang mereka lalui, hal yang dilakukan Anya seperti menghilangkan semua kebaikan yang dilakukan Ale, suaminya. Saya mengerti setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menyembuhkan luka, tapi dengan cara yang dipilih Anya, ah entahlah. Bukankah berdosa apabila kita mengabaikan suami?
Pernikahan adalah suatu yang suci. Pernikahan bukan hal sepele, tapi apa yang dilakukan Anya membuat saya kembali berfikir apakah sebenarnya Anya sudah benar-benar siap dengan segala konsekuensi yang ada ketika menerima lamaran Ale?. Pernikahan bukan melulu berisikan kebahagiaan, terkadang kesedihan atau badai yang datang untuk menguji ikatan tersebut. Pernikahan bukan hanya tentang aku dan kamu, tapi bagaimana dua orang melebur menjadi satu, menjadi kita.
Sudut pandang Ale adalah favorit saya dan sekaligus bikin nyesek (beberapa kali saya dibuat termehek-mehek sambil membatin masih adakah laki-laki seperti Ale?). Saat membaca sebuah buku, saya selalu menyukai sudut pandang seorang pria, karena pikiran-pikiran logis mereka (dan kenyataan bahwa pemikiran laki-laki dan wanita itu sangat jauh berbeda). Kalau Anye terlalu melibatkan perasaan terlukanya, Ale berusaha untuk tetap berada di jalur yang benar walau apa yang Ale ucapkan bukanlah suatu perkataan yang baik, tapi alangkah baiknya Anya mau menuruti ajakan Ale untuk lebih terbuka dan berbicara dari hati ke hati, karena memang itulah yang seharusnya pasangan lakukan. Tapi bukankah itu konflik utama yang dituliskan Ika Natassa? Konflik yang dituturkan secara apik menurut saya. Mambuat saya penasaran langkah apa yang dilakukan Ale dalam memenangkan kembali pernikahannya dan bagaimana Anya menyikapi lukanya, berdamai dengan hatinya atau tetap berada dalam kurungan kesedihan. Saya bersyukur tidak menyerah membaca buku ini, karena di awal-awal banyak sekali bahasa yang dicampur adukkan (bahasa Indonesia Inggrisnya bukan sepatah dua kata, tapi hampir di seluruh halaman) membuat saya harus bersabar membacanya dan untunglah mulai halaman 26 bahasa campur aduknya tidak terlalu mendominasi dan berada dalam kadar yang masih bisa saya maklumi. Oya, sedikit saran untuk mbak Ika, jika menuliskan makanan kesukaan sang tokoh adalah any kind yang halal (p.148), alangkah baiknya jika tokoh tersebut tidak dituliskan mengkomsumsi wine (p. 32), karena wine sudah jelas tidak halal :)
Oke, cukup intronya ^^. Critical Eleven menceritakan tentang kehidupan setelah pernikahan dan menjalani keputusan yang telah mereka ambil, bagaimana menyikapi luka dengan caranya masing-masing yang tanpa sadar dapat membuat luka baru bagi pasangannya. Walau saya sangat menikmati buku ini, ada beberapa hal yang membuat saya tidak setuju dengan keputusan Anya. Sebagai seorang istri yang baik apalagi setelah tahun-tahun pernikahan indah (walaupun LDM) yang mereka lalui, hal yang dilakukan Anya seperti menghilangkan semua kebaikan yang dilakukan Ale, suaminya. Saya mengerti setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menyembuhkan luka, tapi dengan cara yang dipilih Anya, ah entahlah. Bukankah berdosa apabila kita mengabaikan suami?
Pernikahan adalah suatu yang suci. Pernikahan bukan hal sepele, tapi apa yang dilakukan Anya membuat saya kembali berfikir apakah sebenarnya Anya sudah benar-benar siap dengan segala konsekuensi yang ada ketika menerima lamaran Ale?. Pernikahan bukan melulu berisikan kebahagiaan, terkadang kesedihan atau badai yang datang untuk menguji ikatan tersebut. Pernikahan bukan hanya tentang aku dan kamu, tapi bagaimana dua orang melebur menjadi satu, menjadi kita.
Sudut pandang Ale adalah favorit saya dan sekaligus bikin nyesek (beberapa kali saya dibuat termehek-mehek sambil membatin masih adakah laki-laki seperti Ale?). Saat membaca sebuah buku, saya selalu menyukai sudut pandang seorang pria, karena pikiran-pikiran logis mereka (dan kenyataan bahwa pemikiran laki-laki dan wanita itu sangat jauh berbeda). Kalau Anye terlalu melibatkan perasaan terlukanya, Ale berusaha untuk tetap berada di jalur yang benar walau apa yang Ale ucapkan bukanlah suatu perkataan yang baik, tapi alangkah baiknya Anya mau menuruti ajakan Ale untuk lebih terbuka dan berbicara dari hati ke hati, karena memang itulah yang seharusnya pasangan lakukan. Tapi bukankah itu konflik utama yang dituliskan Ika Natassa? Konflik yang dituturkan secara apik menurut saya. Mambuat saya penasaran langkah apa yang dilakukan Ale dalam memenangkan kembali pernikahannya dan bagaimana Anya menyikapi lukanya, berdamai dengan hatinya atau tetap berada dalam kurungan kesedihan. Saya bersyukur tidak menyerah membaca buku ini, karena di awal-awal banyak sekali bahasa yang dicampur adukkan (bahasa Indonesia Inggrisnya bukan sepatah dua kata, tapi hampir di seluruh halaman) membuat saya harus bersabar membacanya dan untunglah mulai halaman 26 bahasa campur aduknya tidak terlalu mendominasi dan berada dalam kadar yang masih bisa saya maklumi. Oya, sedikit saran untuk mbak Ika, jika menuliskan makanan kesukaan sang tokoh adalah any kind yang halal (p.148), alangkah baiknya jika tokoh tersebut tidak dituliskan mengkomsumsi wine (p. 32), karena wine sudah jelas tidak halal :)
Love does not consist of gazing at each other, but in looking outward together in the same direction. (P.330)
In marriage, when we win, we win big. But when we lost, we lost more than everything. We lost ourselves, and there's nothing sadder than that. (P. 153)
Buku-buku Ika Natasha udah ku blacklist si ^^ tokohnya goblok semua bikin emosi jiwa. Hahaha
BalasHapusNah, itu yang bikin aku selalu maju mundur buat baca bukunya Ika, tapi yang ini aku lumayan suka, itupun karena Ale hehehe :)
HapusMemang kenapa kalo banyak bahasa Inggris-nya, Kak?
BalasHapus*serius nanya*
:D
Masalah selera sih mungkin tepatnya. Aku agak kurang nyaman kalau baca novel yang bahasa campur aduknya kelewat banyak. Bikin capek :D
Hapus