Penulis : M. AAN MANSYUR
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
120 Halaman, Cetakan I, 2016
My Rating : 4/5
Puisi adalah museum yang lengang. Masa remaja dan negeri jauh. Jatuh dan patah. Foto-foto hitam putih. (P.11)
Aku bukan penikmat puisi yang terkadang diksinya membingungkanku. Begitupun buku ini yang awalnya membuatku agak bingung dengan setiap kata yang menurutku err terlalu susah untuk dimengerti, tapi semakin aku membacanya aku mulai (agak) paham tentang apa yang dialami dan dirasakan mas Rangga #ehem.
Beberapa penggalan puisi favoritku adalah :
Kadang-kadang, kau pikir, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang. Jika ada seorang telanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan. (Pukul 4 pagi)
---
Ketika aku bertanya kepadamu tentang cinta, kau melihat langit membentang lapang. Menyerahkan diri untuk dinikmati, tapi menolak untuk dimiliki.
Ketika kau bertanya kepadaku tentang cinta, aku melihat nasib manusia. Terkutuk hidup di bumi bersama jangkauan lengan mereka yang pendek dan kemauan mereka yang panjang. (Ketika ada yang bertanya tentang cinta)
---

Tidak pernah ada rumah. Tidak ada. Cuma ada mimpi buruk yang sekali waktu terburu-buru membangunkan dan meminta aku pergi. Membelahku. Mengubah ingatan jadi hukuman. Meletakkan jiwaku di antara keinginan dan keengganan kembali, di antara perkara-perkara yang mungkin dan tidak mungkin selesai. (Aku tidak pernah betul-betul pulang)
---
Di bawah langit yang sama. Ada dua dunia berbeda. Jarak yang membentang di antaranya menciptakan bahasa baru untuk kita. Tiap kata yang kau ucapkan selalu berarti kapan. Tiap kata yang aku kecupkan melulu berarti akan. (Bahasa baru)
---
Di tempat jauh tidak ada masa lalu. Jarak antara kenangan dan masa depan ialah keterpisahan laut dan kalut di dada yang berusaha tidak meluap di mata. Tapi kau tidak pernah tahu. Siang ini langit akan baik-baik saja atau badai datang menyerang sekali lagi. Kau tidak pernah tahu.
---
Meriang. Meriang. Meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang. (Tidak ada New York hari ini)
Ahhh.. diksi ini juara. Saat aku mendengar bagian ini di film aku langsung menyukai dan efek itu aku rasakan lagi saat membaca part terakhir di bab Tidak Ada New York Hari Ini.
Dan aku sangat menyukai puisi ini
Gambar yang digunakan pada buku ini sangat New York, walau awalnya saya berpikir gambar yang digunakan adalah keseharian Rangga di sana, yah walau dihalaman terakhir mas Rangga muncul juga. Membaca buku ini membuatku mendapatkan sensasi lain, ternyata membaca puisi juga sangat asyik. Saya menyukai buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Review Buku di purplebookish.com merupakan pendapat pribadi yang berdasarkan penilaian subjektif terhadap buku yang saya baca. Begitu pula dengan postingan non review yang juga bersifat opini pribadi.
Purplebookish.com tidak memaksakan pembaca untuk setuju dengan semua tulisan yang dipublish. Jika ada yang ingin disampaikan atau berpendapat lain sila menulis di kolom komentar dengan bahasa yang sopan :)
P.s Saya akan menghapus komentar yang tidak berkaitan dengan postingan blog dan spam.
Mohon untuk tidak menyadur/mengcopy sebagian atau seluruh isi blog tanpa ijin :)
Terima Kasih :)